“Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga
seperti ini”, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam, serta agak merenggangkan keduanya,” (Bukhari (no. 4998 dan
5659).
Islampos.com—DALAM hampir semua hadist Nabi dan dalil Al-Quran, yang
selalu disebut adalah anak yatim, tidak anak piatu. Siapakah yang
dimaksud dengan anak yatim? Apakah perbedaan antara anak yatim dan anak
piatu? Lalu bagaimana dengan anak yatim-piatu?
Secara bahasa “yatim” berasal dari bahasa arab. Dari fi’il madli
“yatama” mudlori’ “yaitamu” dab mashdar ” yatmu” yang berarti : sedih.
Atau bermakana : sendiri.
Adapun menurut istilah syara’ yang dimaksud dengan anak yatim adalah
anak yang ditinggal mati oleh ayahnya sebelum dia baligh. Batas seorang
anak disebut yatim adalah ketika anak tersebut telah baligh dan dewasa,
berdasarkan sebuah hadits yang menceritakan bahwa Ibnu Abbas r.a. pernah
menerima surat dari Najdah bin Amir yang berisi beberapa pertanyaan,
salah satunya tentang batasan seorang disebut yatim, Ibnu Abbas
menjawab:
Dan kamu bertanya kepada saya tentang anak yatim, kapan terputus
predikat yatim itu, sesungguhnya predikat itu putus bila ia sudah baligh
dan menjadi dewasa
Sedangkan kata piatu bukan berasal dari bahasa arab, kata ini dalam
bahasa Indonesia dinisbatkan kepada anak yang ditinggal mati oleh
Ibunya, dan anak yatim-piatu : anak yang ditinggal mati oleh kedua orang
tuanya.
Didalam ajaran Islam, mereka semua mendapat perhatian khusus melebihi
anak-anak yang wajar yang masih memiliki kedua orang tua. Islam
memerintahkan kaum muslimin untuk senantiasa memperhatikan nasib mereka,
berbuat baik kepada mereka, mengurus dan mengasuh mereka sampai
dewasa.
Islam juga memberi nilai yang sangat istimewa bagi orang-orang
yang benar-benar menjalankan perintah ini. Secara psikologis, orang dewasa sekalipun apabila ditinggal ayah atau
ibu kandungnya pastilah merasa tergoncang jiwanya, dia akan sedih
karena kehilangan salah se-orang yang sangat dekat dalam hidupnya. Orang
yang selama ini menyayanginya, memperhatikannya, menghibur dan
menasehatinya. Itu orang yang dewasa, coba kita bayangkan kalau itu
menimpa anak-anak yang masih kecil, anak yang belum baligh, belum banyak
mengerti tentang hidup dan kehidupan, bahkan belum mengerti baik dan
buruk suatu perbuatan, tapi ditinggal pergi oleh Bapak atau Ibunya untuk
selama-lamanya.
Betapa agungnya ajaran Islam, ajaran yang universal ini menempatkan
anak yatim dalam posisi yang sangat tinggi, Islam mengajarkan untuk
menyayangi mereka dan melarang melakukan tindakan-tindakan yang dapat
menyinggung perasaan mereka. Banyak sekali ayat-ayat Al-qur’an dan
hadits-hadits Nabi saw yang menerangkan tentang hal ini. Dalam surat
Al-Ma’un misalnya, Allah swt berfirman:
.
“Tahukah kamu orang yang mendustakan Agama, itulah orang yang menghardik
anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan kepada orang miskin, “
(QS. Al-ma’un : 1-3)
Orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan
kepada fakir miskin, dicap sebagai pendusta Agama yang ancamannya
berupa api neraka. Dalam ayat lain, Allah juga berfirman : “Maka
terhadap anak yatim maka janganlah engkau berlaku sewenang-wenang. Dan
terhadap pengemis janganlah menghardik,” (QS. Ad-Dhuha : 9 – 10)
Sedangkan hadits-hadits Nabi saw yang menerangkan tentang keutamaan
mengurus anak yatim diantaranya sabda beliau : “Aku dan pengasuh anak
yatim berada di Surga seperti ini.” Beliau memberi isyarat dengan jari
telunjuk dan jari tengah-nya dan beliau sedikit merengganggangkan kedua
jarinya.
Dan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Nabi saw bersabda : Dari Ibnu
Abbas r.a. bahwa Nabi saw bersabda : “Barang siapa yang memberi makan
dan minum seorang anak yatim diantara kaum muslimin, maka Allah akan
memasukkannya kedalam surga, kecuali dia melakukan satu dosa yang tidak
diampuni.”
Imam Ahmad dalam musnadnya meriwayatkan dari Abu Hurairoh r.a. hadits
yang berbunyi : Dari Abu Hurairoh, bahwa seorang laki-laki mengadu
kepada Nabi saw akan hatinya yang keras, lalu Nabi berkata: “Usaplah
kepala anak yatim dan berilah makan orang miskin.”
Dan hadits dari Abu Umamah yang berbunyi : Dari Abu Umamah dari Nabi
saw berkata: “Barangsiapa yang mengusap kepala anak yatim laki-laki atau
perempuan karena Allah, adalah baginya setiap rambut yang diusap
dengan tangannya itu terdapat banyak kebaikan, dan barang siapa berbuat
baik kepada anak yatim perempuan atau laki-laki yang dia asuh, adalah
aku bersama dia disurga seperti ini, beliau mensejajarkan dua jari-nya.”
Demikianlah, ajaran Islam memberikan kedudukan yang tinggi kepada
anak yatim dengan memerintahkan kaum muslimin untuk berbuat baik dan
memuliakan mereka. . Kemudian memberi balasan pahala yang besar bagi
yang benar-benar menjalankannya, disamping mengancam orang-orang yang
apatis akan nasib meraka apalagi semena-mena terhadap harta mereka.
Ajaran yang mempunyai nilai sosial tinggi ini, hanya ada didalam Islam.
Bukan hanya slogan dan isapan jempol belaka, tapi dipraktekkan oleh para
Sahabat Nabi dan kaum muslimin sampai saat ini. Bahkan pada jaman Nabi
saw dan para Sahabatnya, anak-anak yatim diperlakukan sangat istimewa,
kepentingan mereka diutamakan dari pada kepentingan pribadi atau
keluarga sendiri. Gambaran tentang hal ini, diantaranya dapat kita lihat
dari hadits berikut ini :
Dari Ibnu Abbas, ia berkata : ketika Allah Azza wa jalla menurunkan
ayat “janganlah kamu mendekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang
hak” dan “sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim dengan
dzolim” ayat ini berangkat dari keadaan orang-orang yang mengasuh anak
yatim, dimana mereka memisahkan makanan mereka dan makanan anak itu,
minuman mereka dan minuman anak itu, mereka mengutamakan makanan anak
itu dari pada diri mereka, makanan anak itu diasingkan disuatu tempat
sampai dimakannya atau menjadi basi, hal itu sangat berat bagi mereka
kemudian mereka mengadu kepada Rasulullah saw. Lalu Allah menurunkan
ayat “dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang anak yatim.
katakanlah berbuat baik kepada mereka adalah lebih baik, dan jika kalian
bercampur dengan mereka, maka mereka adalah saudara-saudaramu” kemudian
orang-orang itu menyatukan makanan mereka dengan anak yatim.
[islampos/berbagai sumber]
Sepuluh Perkara Tetap Mengalir Pahalanya setelah Mati
8 jam yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar