Maka Nikmat Rabbmu Manakah Yang Engkau Dustakan~?
Saat sedang duduk di depan komputer siang tadi sambil menikmati secangkir kopi hangat dengan suasana tenang dan diiringi rintik hujan, entah mengapa tiba-tiba saja saya tercenung mengingat salah satu ayat Allah,
Fabiayyii ‘alaa-i rabbikumaa tukadzdziban? Maka nikmat RabbMu manakah yang engkau dustakan? (Qur’an Surah Ar Rahman)
Dan saat itu pula seperti tergambar dengan jelas nikmat-nikmat apa saja yang telah Allah berikan, dari mulai saya dilahirkan ke dunia hingga detik ini. Begitu tak terhingga..Lantas saya membandingkan keadaan saya saat itu yang berada di rumah dengan segala kehangatan, dengan mereka yang tengah berjuang di luar sana mencari nafkah, tak peduli dingin dan hujan.
Saya pun jadi merenungkan nikmat-nikmat apa sajakah yang telah lupa disyukuri, dan sibuk untuk mengeluhkan berbagai hal yang sesungguhnya tak perlu.
Ketika kita, -mungkin saya- sibuk ingin pakaian yang begini dan begitu, sesungguhnya diluar sana banyak mereka yang tidak bisa mengganti pakaiannya setiap hari karena jumlah pakaiannya yang terbatas.
Ketika barangkali kita sibuk ingin uang yang ber-jut-jut untuk memenuhi kebutuhan bulanan kita, ada mereka yang harus puas dengan penghasilan yang hanya cukup untuk makan dan kebutuhan sehari-hari saja. Bahkan untuk menambal kebutuhan tak jarang mereka berhutang.
Ketika barangkali kita mengeluhkan bentuk wajah, berat badan atau penampilan fisik yang kurang sempurna, sesungguhnya banyak diantara saudara-saudara kita yang jauh lebih tidak sempurna dengan kekurangan fisiknya. Ada yang tidak bisa melihat, berjalan atau mendengar.
Ketika barangkali kita mengeluhkan tentang rumah yang sempit, atap bocor atau desain ruangan yang tidak sesuai dengan selera kita, ada baiknya kita mengingat mereka yang tidak mempunyai tempat bernaung, para tunawisma. Bahkan saya pernah melihat liputan di televisi, ada bapak dan anak yang tinggalnya di gerobak, jika sang anak tidur, bapaknya mengalah tidur di emperan, begitu juga sebaliknya.
Ketika barangkali kita terus-menerus mengeluhkan tentang pelajaran yang padat, tugas sekolah yang menumpuk dan situasi sekolah yang jauh dari harapan, coba sekali-kali kita tengok saudara-saudara kita yang ingin sekali mengenyam pendidikan namun terbentur masalah biaya. Mereka yang putus sekolah bahkan yang sama sekali tak pernah merasakan duduk di bangku sekolah sejak kecil. Dan mereka yang seperti ini ini ada, ini realita, bukan dongeng semata.
Ketika barangkali kita sibuk membandingkan pasangan kita dengan pasangan orang lain yang (dianggap) lebih menarik, lebih romantis atau lebih segala-galanya, pernahkah kita mencoba membandingkan dengan pasangan orang lain yang jauh lebih buruk keadaanya dibanding pasangan kita? Yang lebih ringan tangan menyakiti pasangannya, yang lebih tajam mulutnya, yang lebih menghalang-halangi pasangannya untuk taat kepada Allah Ta’ala.
Juga ketika seringkali kita mengeluhkan tentang udara yang begitu panas dan gerah, padahal di luar sana mereka yang berprofesi sebagai pedagang keliling atau sopir, jauh lebih merasakan teriknya matahari dibandingkan saya yang berlindung di bawah atap.
Ketika kita dibuat pusing oleh perilaku anak-anak kita dan merasa lelah mengurus mereka, pernahkah kita berpikir sekali saja.. “Bagaimana jika Allah mentakdirkan kita tidak dapat memiliki anak?” atau betapa sedihnya mereka yang dengan ikhlas menerima kenyataan, telah kehilangan anaknya untuk selama-lamanya..
Ketika barangkali kita sibuk dengan pertanyaan, “Mau makan dimana siang ini?” tengoklah saudara-saudara kita yang juga seringkali bertanya walau dalam hati, “Apa yang bisa kita makan hari ini?”
Ketika barangkali kita yang telah menikah senantiasa mengeluh, merasa jenuh dengan kehidupan yang sedang dijalani bahkan menginginkan kebebasan seperti layaknya para lajang, coba kita tanya dalam hati, “apa kita mau tetap melajang seumur hidup? jika disuruh memilih, apa yang kita pilih, menikah dengan segala keindahan, kompleksitas dan tanggungjawabnya, atau hidup bebas tanpa ikatan yang boleh jadi berujung kesepian dan penyesalan?”. Dan jujurlah pada hati sendiri..
Yah, ternyata nikmat-nikmat Allah yang begitu banyaknya kadang belum cukup nyata untuk sekadar membuat kita bersyukur. Kadang kita terlalu fokus pada kesusahan diri sendiri (yang kadang justru kita buat sendiri), hingga nikmat-nikmat yang lainnya terlupakan. Seakan hidup kitalah yang paling susah. Ah, memang ternyata manusia adalah makhluk yang kurang bersyukur dan paling sering mengeluh.
Astaghfirullah wa atuubu ilaih…
~ suatu sore di Januari 2015, pengingat diri agar senantiasa dalam kesyukuran….
0 komentar:
Posting Komentar