Bismillah...
"Afwan, hari ini tidak tilawah, tdk bawa Quran, tidak lapor gak ada sinyal"
Kata Allah..
Hari ini permintaan kamu di tunda dulu yah, sinyalnya putus-putus tidak
jelas. Masih banyak hambaKU yang berusaha mencari 'sinyal' untuk
berkomunikasi denganKU.
"Afwan, hari ini sibuk banget tidak sempat tilawah.."
Kata Allah..
Silahkan kamu cari jalan keluarmu sendiri, masih banyak hambaKU yang lebih sibuk mencariKU agar urusannya dimudahkan.
"Afwan, juz saya dilelang dulu yah. Saya pulang kerja, sudah lelah dan tidur.."
Kata Allah..
Sayang sekali, baru saja AKU ingin mengabulkan permintaanmu. Kalau
begitu permintaanmu AKU lelang dulu kepada yang lebih sibuk meminta dan
beribadah padaku.
"Afwan saya sedang ada masalah, afwan saya sedang tidak enak badan, afwan.. Afwan.. Afwan.."
Ahh, lupa kah kita jika tilawah adalah obat segala penyakit?
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَلاَ يَزِيْدُ الظَّالِمِيْنَ إِلاَّ خَسَارًا
“Dan Kami turunkan dari Al-Qur`an suatu menjadi penyembuh dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur`an itu tidaklah menambah kepada
orang-orang yang dzalim selain kerugian.” (Al-Isra`: 82)
Sungguh, rugi waktu yang kita lewati hanya karena keduniaan.
Jika kita bisa banting tulang bekerja mencari rezeki, kenapa tidak bisa banting tulang untuk ibadah?
Allah dulu, Allah lagi, Allah terus...
Ibadah, ibadah, ibadah kemudian usaha..
Semua terjadi atas izin Allah. Maka, minta izin dulu kepada yang Maha Memiliki, Maha Kaya.
Jangan berikan Allah sisa waktu kita. Nanti Allah kasih rezekinya sisa-sisa.
Yakinlah, yakin ibadah tak kan mengurangi waktu kita berkarya di dunia.
Yakinlah, yakin jika Allah telah memberi izin dan Ridho NYA, in syaa Allah semua akan dimudahkan.
Yakinlah, yakin semakin besar premi yang kita berikan, makin besar pula jaminan yang kita dapatkan.
Yakinlah, yakin. Agar Allah pun yakin kita siap menerima permintaan dan keinginan kita
Sumber : https://www.facebook.com/pages/One-Day-One-Juz
Maka Nikmat Rabbmu Manakah Yang Engkau Dustakan~?
Saat sedang duduk di depan komputer siang tadi sambil menikmati secangkir kopi hangat dengan suasana tenang dan diiringi rintik hujan, entah mengapa tiba-tiba saja saya tercenung mengingat salah satu ayat Allah,
Fabiayyii ‘alaa-i rabbikumaa tukadzdziban? Maka nikmat RabbMu manakah yang engkau dustakan? (Qur’an Surah Ar Rahman)
Dan saat itu pula seperti tergambar dengan jelas nikmat-nikmat apa saja yang telah Allah berikan, dari mulai saya dilahirkan ke dunia hingga detik ini. Begitu tak terhingga..Lantas saya membandingkan keadaan saya saat itu yang berada di rumah dengan segala kehangatan, dengan mereka yang tengah berjuang di luar sana mencari nafkah, tak peduli dingin dan hujan.
Saya pun jadi merenungkan nikmat-nikmat apa sajakah yang telah lupa disyukuri, dan sibuk untuk mengeluhkan berbagai hal yang sesungguhnya tak perlu.
Ketika kita, -mungkin saya- sibuk ingin pakaian yang begini dan begitu, sesungguhnya diluar sana banyak mereka yang tidak bisa mengganti pakaiannya setiap hari karena jumlah pakaiannya yang terbatas.
Ketika barangkali kita sibuk ingin uang yang ber-jut-jut untuk memenuhi kebutuhan bulanan kita, ada mereka yang harus puas dengan penghasilan yang hanya cukup untuk makan dan kebutuhan sehari-hari saja. Bahkan untuk menambal kebutuhan tak jarang mereka berhutang.
Ketika barangkali kita mengeluhkan bentuk wajah, berat badan atau penampilan fisik yang kurang sempurna, sesungguhnya banyak diantara saudara-saudara kita yang jauh lebih tidak sempurna dengan kekurangan fisiknya. Ada yang tidak bisa melihat, berjalan atau mendengar.
Ketika barangkali kita mengeluhkan tentang rumah yang sempit, atap bocor atau desain ruangan yang tidak sesuai dengan selera kita, ada baiknya kita mengingat mereka yang tidak mempunyai tempat bernaung, para tunawisma. Bahkan saya pernah melihat liputan di televisi, ada bapak dan anak yang tinggalnya di gerobak, jika sang anak tidur, bapaknya mengalah tidur di emperan, begitu juga sebaliknya.
Ketika barangkali kita terus-menerus mengeluhkan tentang pelajaran yang padat, tugas sekolah yang menumpuk dan situasi sekolah yang jauh dari harapan, coba sekali-kali kita tengok saudara-saudara kita yang ingin sekali mengenyam pendidikan namun terbentur masalah biaya. Mereka yang putus sekolah bahkan yang sama sekali tak pernah merasakan duduk di bangku sekolah sejak kecil. Dan mereka yang seperti ini ini ada, ini realita, bukan dongeng semata.
Ketika barangkali kita sibuk membandingkan pasangan kita dengan pasangan orang lain yang (dianggap) lebih menarik, lebih romantis atau lebih segala-galanya, pernahkah kita mencoba membandingkan dengan pasangan orang lain yang jauh lebih buruk keadaanya dibanding pasangan kita? Yang lebih ringan tangan menyakiti pasangannya, yang lebih tajam mulutnya, yang lebih menghalang-halangi pasangannya untuk taat kepada Allah Ta’ala.
Juga ketika seringkali kita mengeluhkan tentang udara yang begitu panas dan gerah, padahal di luar sana mereka yang berprofesi sebagai pedagang keliling atau sopir, jauh lebih merasakan teriknya matahari dibandingkan saya yang berlindung di bawah atap.
Ketika kita dibuat pusing oleh perilaku anak-anak kita dan merasa lelah mengurus mereka, pernahkah kita berpikir sekali saja.. “Bagaimana jika Allah mentakdirkan kita tidak dapat memiliki anak?” atau betapa sedihnya mereka yang dengan ikhlas menerima kenyataan, telah kehilangan anaknya untuk selama-lamanya..
Ketika barangkali kita sibuk dengan pertanyaan, “Mau makan dimana siang ini?” tengoklah saudara-saudara kita yang juga seringkali bertanya walau dalam hati, “Apa yang bisa kita makan hari ini?”
Ketika barangkali kita yang telah menikah senantiasa mengeluh, merasa jenuh dengan kehidupan yang sedang dijalani bahkan menginginkan kebebasan seperti layaknya para lajang, coba kita tanya dalam hati, “apa kita mau tetap melajang seumur hidup? jika disuruh memilih, apa yang kita pilih, menikah dengan segala keindahan, kompleksitas dan tanggungjawabnya, atau hidup bebas tanpa ikatan yang boleh jadi berujung kesepian dan penyesalan?”. Dan jujurlah pada hati sendiri..
Yah, ternyata nikmat-nikmat Allah yang begitu banyaknya kadang belum cukup nyata untuk sekadar membuat kita bersyukur. Kadang kita terlalu fokus pada kesusahan diri sendiri (yang kadang justru kita buat sendiri), hingga nikmat-nikmat yang lainnya terlupakan. Seakan hidup kitalah yang paling susah. Ah, memang ternyata manusia adalah makhluk yang kurang bersyukur dan paling sering mengeluh.
Astaghfirullah wa atuubu ilaih…
~ suatu sore di Januari 2015, pengingat diri agar senantiasa dalam kesyukuran….
Bismillah....
"Mungkin kau tak tahu di mana rizqimu. Tapi rizqimu
tahu di mana engkau. Dari langit, laut, gunung, & lembah; Rabb
memerintahkannya menujumu.
Allah berjanji menjamin rizqimu. Maka
melalaikan ketaatan padaNya demi mengkhawatirkan apa yang sudah
dijaminNya adalah kekeliruan berganda.
Tugas kita bukan
mengkhawatirkan rizqi atau bermuluk cita memiliki; melainkan menyiapkan
jawaban "Dari Mana" & "Untuk Apa" atas tiap karunia.
Betapa banyak orang bercita menggenggam dunia; dia alpa bahwa hakikat rizqi bukanlah yang tertulis dalam angka; tapi apa yang dinikmatinya.
Betapa banyak orang bekerja membanting tulangnya, memeras keringatnya;
demi angka simpanan gaji yang mungkin esok pagi ditinggalkannya mati.
Maka amat keliru jika bekerja dimaknai mentawakkalkan rizqi pada
perbuatan kita. Bekerja itu bagian dari ibadah. Sedang rizqi itu
urusanNya.
Kita bekerja untuk bersyukur, menegakkan taat &
berbagi manfaat. Tapi rizqi tak selalu terletak di pekerjaan kita; Allah
taruh sekehendakNya.
Bukankah Hajar berlari 7x bolak-balik dari
Shafa ke Marwa; tapi Zam-zam justru terbit di kaki Ismail, bayinya?
Ikhtiar itu laku perbuatan. Rizqi itu kejutan.
Ia kejutan untuk
disyukuri hamba bertaqwa; datang dari arah tak terduga. Tugas kita cuma
menempuh jalan halal; Allah lah yang melimpahkan bekal.
Sekali lagi;
yang terpenting di tiap kali kita meminta & Allah memberi karunia;
jaga sikap saat menjemputnya & jawab soalanNya, "Buat apa?"
Betapa banyak yang merasa memiliki manisnya dunia; lupa bahwa semua
hanya "hak pakai" yang halalnya akan dihisab & haramnya akan
di'adzab.
Dengan itu kita mohon "Ihdinash Shirathal Mustaqim";
petunjuk ke jalan orang nan diberi nikmat ikhlas di dunia & nikmat
ridhaNya di akhirat. Bukan jalannya orang yg terkutuk apalagi jalan
orang yg tersesat.
Maka segala puji hanya bagi Allah; hanya dengan nikmatNya-lah maka kesempurnaan menjadi paripurna".
Sumber : One Day One Juz
"Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh"
"JANJI SEORANG SUAMI"
Istriku :
Ketika pertama kali ku ikatkan niat hatiku dengan keberanian untuk meminangmu,menjadikan dirimu bagian dari diriku..
Istriku :
Ketika hari itu aku mengucapkan ikrar pernikahan, menyebutkan jumlah aku menebusmu..
Aku tahu sejak itulah aku harus mampu menjadi seorang yang bertanggung jawab penuh kepadamu..
Bahwa aku sekarang yang mengambil posisi ayahmu sebagai pelindungmu, posisi ibumu sebagai curahan hatimu..
Istriku :
Sungguh aku ingin menjadikanmu bagai Khadijah,
Yang mendapat curahan hati dari Sang Tauladan..
Sungguh aku ingin menjadikanmu seperti Khadijah,
Yang tak ada dua sampai akhirnya engkau harus tiada..
Namun, aku hanya lelaki biasa,
Bukan Sang Tauladan yang mampu menahan segala goda..
Namun percayalah istriku, kau wanita dari ketika aku Meminang, Mengikatkan niat dan keberanianku..
Istriku :
Terima dan pahamilah segala kekurangan dan kelebihanku, dan Aku pun akan menerima segala kekurangan dan kelebihan yang ada pada dirimu..
Karena hakikat pernikahan itu saling melengkapi kekurangan dan kelebihan dua Insan ketika bersatu..
Istriku :
Bismillahi Tawakaltu Alallah, kita mulai lembaran hidup baru..
Menanti Calon Mujahid dan Mujahidah yang akan ALLAH titipkan di rahimmu..
Bersabarlah Wahai Istriku..
Ketika keadaan mendadak berubah tak seperti biasa..
Karena engkau tahu jalan hidup tak selamanya sesuai dengan harapan kita..
Karena bahagia tak bisa selamanya kita rasa..
Karena ALLAH telah menuliskan semuanya..
Bukankah ALLAH Ta’ala telah berfirman:
Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi ALLAH..
(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-NYA kepadamu..
(QS. Al-Hadiid: 22-23)
Dan ketika engkau merasa lelah dan bimbang, datang dan bersandarlah di pundakku..
Supaya dapat kukisahkan lagi sirah Nabi yang dapat menyemangatimu..
Dan bisa kulihat lagi senyum manis diwajahmu.
Karena senyuman adalah lengkungan yang dapat meluruskan segalanya..
Semoga rumah tangga kita Sakinah Mawaddah Wa rahmah, Aamiin..
Rekening Atas Nama Usman bin Affan radhiyallahu 'anhu
1. Mungkin tak pernah terbayang oleh siapa pun, bila ada satu bank di
Saudi Arabia yang sampai saat ini menyimpan rekening atas nama USMAN BIN
AFFAN.
2. Apa kisah sebenarnya di balik pembangunan hotel 'Usman bin Affan Ra' yang saat ini sedang di bangun dekat Masjid Nabawi?
Apakah ada anak cucu keturunan Usman saat ini yang membangunnya atas nama moyang mereka?
Penasaran? Ikuti kisahnya berikut ini. Barangkali kita dapat mengambil pelajaran.
3. Setelah hijrah, jumlah kaum Muslimin di Madinah semakin bertambah
banyak. Salah satu kebutuhan dasar yang mendesak adalah ketersediaan air
jernih.
4. Kala itu sumur terbesar dan terbaik adalah Bi'ru
Rumah, milik seorang Yahudi pelit dan oportunis. Dia hanya mau berbagi
air sumurnya itu secara jual beli.
5. Mengetahui hal itu, Usman
bin Affan mendatangi si Yahudi dan membeli 'setengah' air sumur Rumah.
Usman lalu mewakafkannya untuk keperluan kaum Muslimin.
6. Dengan
semakin bertambahnya penduduk Muslim, kebutuhan akan air jernih pun
kian meningkat. Karena itu, Usman pun akhirnya membeli 'sisa' air sumur
Rumah dengan harga keseluruhan 20.000 dirham (kl. Rp. 5 M). Untuk kali
ini pun Usman kembali mewakafkannya untuk kaum Muslimin.
7.
Singkat cerita, pada masa-masa berikutnya, wakaf Usman bin Affan terus
berkembang. Bermula dari sumur terus melebar menjadi kebun nan luas.
Kebun wakaf Usman dirawat dengan baik semasa pemerintahan Daulah Usmaniyah (Turki Usmani).
8. Setelah Kerajaan Saudi Arabia berdiri, perawatan berjalan semakin
baik. Alhasil, di kebun tersebut tumbuh sekitar 1550 pohon kurma.
9. Kerajaan Saudi, melalui Kementrian Pertanian, mengelola hasil kebun
wakaf Usman tersebut. Uang yang didapat dari panen kurma dibagi dua;
setengahnya dibagikan kepada anak-anak yatim dan fakir miskin. Sedang
separuhnya lagi disimpan di sebuah bank dengan rekening atas nama Usman
bin Affan.
10. Rekening atas nama Usman tersebut dipegang oleh Kementerian Wakaf.
Dengan begitu 'kekayaan' Usman bin Affan yang tersimpan di bank terus
bertambah. Sampai pada akhirnya dapat digunakan untuk membeli sebidang
tanah di kawasan Markaziyah (area eksklusif) dekat Masjid Nabawi.
11. Di atas tanah tersebut, saat ini tengah dibangun sebuah hotel berbintang lima dengan dana masih dari 'rekening' Usman.
Pembangunan hotel tersebut kini sudah masuk tahap akhir. Rencananya,
hotel 'Usman bin Affan' tersebut akan disewakan kepada sebuah perusahaan
pengelola hotel ternama.
12. Melalui kontrak sewa ini, income tahunan yang diperkirakan akan diraih mencapai lebih 50 juta Riyal (lebih Rp. 150 M).
Pengelolaan penghasilan tersebut akan tetap sama. Separuhnya dibagikan
kepada anak-anak yatim dan fakir miskin. Sedang separuhnya lagi disimpan
di 'rekening' Usman bin Affan.
13. Uniknya, tanah yang digunakan
untuk membangun hotel tersebut tercatat pada Dinas Tata Kota Madinah
atas nama Usman bin Affan.
14. Masya Allah, saudaraku, itulah
'transaksi' Usman dengan Allah. Sebuah perdagangan di jalan Allah dan
untuk Allah telah berlangsung selama lebih 1400 tahun.....berapa
'keuntungan' pahala yang terus mengalir deras kedalam pundi-pundi
kebaikan Usman bin Affan di sisi Allah Swt.
Silahkan di share semoga bermanfaat
sumber: Ukhwah ODOJ
“Assalaamu’alaikum…!” Ucapnya lirih saat memasuki rumah. Tak ada
orang yang menjawab salamnya. Ia tahu istri dan anak-anaknya pasti sudah
tidur. Biar malaikat yang menjawab salamku,” begitu pikirnya. Melewati
ruang tamu yang temaram, dia menuju ruang kerjanya. Diletakkannya tas,
ponsel dan kunci-kunci di meja kerja. Setelah itu, barulah ia menuju
kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Sejauh ini,
tidak ada satu orang pun anggota keluarga yang terbangun.
Rupanya
semua tertidur pulas. Segera ia beranjak menuju kamar tidur.
Pelan-pelan dibukanya pintu kamar, ia tidak ingin mengganggu tidur
istrinya. Benar saja istrinya tidak terbangun, tidak menyadari
kehadirannya. Kemudian Amin duduk di pinggir tempat tidur Dipandanginya
dalam-dalam wajah Aminah, istrinya. Amin segera teringat perkataan
almarhum kakeknya, dulu sebelum dia menikah. Kakeknya mengatakan, Jika
kamu sudah menikah nanti, jangan berharap kamu punya istri yang sama
persis dengan maumu. Karena kamupun juga tidak sama persis dengan
maunya. Jangan pula berharap mempunyai istri yang punya karakter sama
seperti dirimu.
Karena suami istri adalah dua orang yang berbeda.
Bukan untuk disamakan tapi untuk saling melengkapi. Jika suatu saat ada
yang tidak berkenan di hatimu, atau kamu merasa jengkel, marah, dan
perasaan tidak enak yang lainnya, maka lihatlah ketika istrimu tidur....
“Kenapa Kek, kok waktu dia tidur?” tanya Amin kala itu. “Nanti kamu
akan tahu sendiri,” jawab kakeknya singkat. Waktu itu, Amin tidak
sepenuhnya memahami maksud kakeknya, tapi ia tidak bertanya lebih
lanjut, karena kakeknya sudah mengisyaratkan untuk membuktikannya
sendiri. Malam ini, ia baru mulai memahaminya. Malam ini, ia menatap
wajah istrinya lekat-lekat. Semakin lama dipandangi wajah istrinya,
semakin membuncah perasaan di dadanya. Wajah polos istrinya saat tidur
benar-benar membuatnya terkesima. Raut muka tanpa polesan, tanpa
ekspresi, tanpa kepura-puraan, tanpa dibuat-buat. Pancaran tulus dari
kalbu.
Memandaginya menyeruakkan berbagai macam perasaan. Ada rasa
sayang, cinta, kasihan, haru, penuh harap dan entah perasaan apa lagi
yang tidak bisa ia gambarkan dengan kata-kata. Dalam batin, dia
bergumam, “Wahai istriku, engkau dulu seorang gadis yang leluasa
beraktifitas, banyak hal yang bisa kau perbuat dengan kemampuanmu.
Aku yang menjadikanmu seorang istri. Menambahkan kewajiban yang tidak
sedikit. Memberikanmu banyak batasan, mengaturmu dengan banyak aturan.
Dan aku pula yang menjadikanmu seorang ibu. Menimpakan tanggung jawab
yang tidak ringan. Mengambil hampir semua waktumu untuk aku dan
anak-anakku. Wahai istriku, engkau yang dulu bisa melenggang kemanapun
tanpa beban, aku yang memberikan beban di tanganmu,
dipundakmu,
untuk mengurus keperluanku, guna merawat anak-anakku, juga memelihara
rumahku. Kau relakan waktu dan tenagamu melayaniku dan menyiapkan
keperluanku. Kau ikhlaskan rahimmu untuk mengandung anak-anakku, kau
tanggalkan segala atributmu untuk menjadi pengasuh anak-anakku, kau
buang egomu untuk menaatiku, kau campakkan perasaanmu untuk mematuhiku.
Wahai istriku, dikala susah, kau setia mendampingiku. Ketika sulit, kau
tegar di sampingku. Saat sedih, kau pelipur laraku. Dalam lesu, kau
penyemangat jiwaku. Bila gundah, kau penyejuk hatiku. Kala bimbang, kau
penguat tekadku. Jika lupa, kau yang mengingatkanku. Ketika salah,kau
yang menasehatiku. Wahai istriku, telah sekian lama engkaumendampingiku,
kehadiranmu membuatku menjadi sempurna sebagai laki-laki. Lalu, atas
dasar apa aku harus kecewa padamu?
Dengan alasan apa aku perlu
marah padamu? Andai kau punya kesalahan atau kekurangan, semuanya itu
tidak cukup bagiku untuk membuatmu menitikkan airmata. Akulah yang harus
membimbingmu. Aku adalah imammu, jika kau melakukan kesalahan, akulah
yang harus dipersalahkan karena tidak mampu mengarahkanmu. Jika ada
kekurangan pada dirimu, itu bukanlah hal yang perlu dijadikan masalah.
Karena kau insan, bukan malaikat. Maafkan aku istriku, kaupun akan
kumaafkan jika punya kesalahan. Mari kita bersama-sama untuk membawa
bahtera rumahtangga ini hingga berlabuh di pantai nan indah, dengan
hamparan keridhoan Allah swt. Segala puji hanya untuk Allah swt yang
telah memberikanmu sebagai jodohku.”
Tanpa terasa airmata Amin
menetes deras di kedua pipinya. Dadanya terasa sesak menahan isak
tangis. Segera ia berbaring di sisi istrinya pelan-pelan. Tak lama
kemudian ia pun terlelap.
***
Jam dinding di ruang tengah
berdentang dua kali. Aminah, istri Amin, terperanjat “Astaghfirullaah,
sudah jam dua?” Dilihatnya sang suami telah pulas di sampingnya.
Pelan-pelan ia duduk, sambil memandangi wajah sang suami yang tampak
kelelahan. “Kasihan suamiku, aku tidak tahu kedatangannya. Hari ini aku
benar- benar capek, sampai-sampai nggak mendengar apa-apa. Sudah makan
apa belum ya dia?” gumamnya dalam hati. Mau dibangunkan nggak tega,
akhirnya cuma dipandangi saja. Semakin lama dipandang, semakin terasa
getar di dadanya. Perasaan yang campur aduk, tak bisa diungkapkan dengan
kata-kata, hanya hatinya yang bicara.
“Wahai suamiku, aku telah
memilihmu untuk menjadi imamku. Aku telah yakin bahwa engkaulah yang
terbaik untuk menjadi bapak dari anak-anakku. Begitu besar harapan
kusandarkan padamu. Begitu banyak tanggungjawab kupikulkan dipundakmu.
“Wahai suamiku, ketika aku sendiri kau datang menghampiriku. Saat aku
lemah, kau ulurkan tanganmu menuntunku. Dalam duka, kau sediakan dadamu
untuk merengkuhku. Dengan segala
kemampuanmu, kau selalu ingin melindungiku.
“Wahai suamiku, tidak kenal lelah kau berusaha membahagiakanku. Tidak
kenal waktu kau tuntaskan tugasmu. Sulit dan beratnya mencari nafkah
yang halal tidak menyurutkan langkahmu. Bahkan sering kau lupa
memperhatikan dirimu sendiri, demi aku dan anak-anak.
“Lalu, atas
dasar apa aku tidak berterimakasih padamu, dengan alasan apa aku tidak
berbakti padamu? Seberapapun materi yang kau berikan, itu hasil
perjuanganmu, buah dari jihadmu. Jika kau belum sepandai da’i dalam
menasehatiku, tapi kesungguhanmu beramal shaleh membanggakanku. Tekadmu
untuk mengajakku dan anak-anak istiqomah di jalan Allah membahagiakanku.
“Maafkan aku wahai suamiku akupun akan memaafkan kesalahanmu.
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah yang telah mengirimmu
menjadi imamku. Aku akan taat padamu untuk mentaati Allah Subhanahu wa
ta'ala. Aku akan patuh kepadamu untuk menjemput ridho-Nya..
Rabbana hablana min azwajina wadzurriyatina qurrota'ayun waj'alna lil muttaqiina imaamaa.
Subhanallah...
"Telah datang (Qur'an sebagai) mau'izhah dari Rabb kalian, penyembuh bagi
apa yang ada dalam dada, hidayah & rahmat bagi mukminin." {QS10:57}
"..Dan Qur'an itu menjadi penyembuh bagi apa yang ada dalam dada..";
bagaimana sombong tak sembuh jika mesra melafal kalam Sang Maha Gagah.
"..Dan Qur'an itu menjadi penyembuh bagi apa yang ada dalam dada..";
bagaimana riya' tak sembuh, jika berhadapan langsung Sang Maha Luhur.
"..Dan Qur'an itu menjadi penyembuh bagi apa yang ada dalam dada..";
bagaimana dengki tak sembuh, jika berbincang dengan Sang Maha Pemurah.
"..Dan Qur'an itu menjadi penyembuh bagi apa yang ada dalam dada..";
bagaimana kecewa tak sembuh, jika disimak Sang Maha Lembut &
Mengerti.
"..Dan Qur'an itu menjadi penyembuh bagi apa yang ada dalam dada..";
bagaimana duka tak sembuh, jika menghayati firman Sang Maha Penyayang.
"..Dan Qur'an itu menjadi penyembuh bagi apa yang ada dalam dada..";
bagaimana ketamakan tak sembuh, jika berpinta pada Dzat Yang Maha Kaya.
"..Dan Qur'an itu menjadi penyembuh bagi apa yang ada dalam dada..";
bagaimana keraguan tak sembuh, jika bergaul dengan Dzat Yang Maha Benar.
"..Dan Qur'an itu menjadi penyembuh bagi apa yang ada dalam dada..";
bagaimana galau tak sembuh, jika menyeksamai ucapan Sang Maha Bijaksana.
"..Dan Qur'an itu jadi penyembuh bagi apa yang ada dalam dada..";
bagaimana syahwat liar tak sembuh, jika merenungi kata-kata Penyedia
Surga.
"..Dan Qur'an itu menjadi penyembuh bagi apa yang ada dalam dada.."; maka
hati gersang & jiwa haus diteduhkan oleh keakraban Yang Maha Suci.