Perempuan bisa sukses jadi bos di kantor, tapi belum tentu sukses sebagai istri atau ibu.
Apa yang terbayang dalam benak para Muslimah ketika membaca judul di
atas? Bisa jadi mereka membayangkan seorang ibu berbaju toga dengan alat
rumah tangga atau seorang wanita akademisi yang lebih memilih untuk
mengurus anak.
Menjadi sarjana lalu berprofesi sebagai ibu rumah tangga, atau ibu
rumah tangga yang bergelar sarjana sepertinya kurang keren di telinga
kita. Aneh dan rasanya mustahil. Alasannya, buat apa belajar dan
menghabiskan biaya begitu mahal, tapi akhirnya menjadi ibu rumah tangga.
Orang berpikir untuk apa sekolah tinggi hingga mencapai gelar doktor,
namun akhirnya hanya bekerja di rumah. Bukankah itu sama dengan
menyia-nyiakan ilmu yang telah kita dapatkan?
Muslimah yang lulus kuliah kemudian bekerja, silakan. Asalkan
pekerjaan tersebut tidak melanggar syariat dan bersifat fardhu kifayah,
seperti menjadi tenaga pendidik, dokter atau berwirausaha sebagai
mompreneur, dan sebagainya. Namun menjadi ibu rumah tangga setelah kita
mendapat gelar sarjana juga bukan merupakan pekerjaan yang hina.
Banyak yang beranggapan profesi sebagai ibu rumah tangga adalah
pekerjaan sepele yang tidak ada istimewanya, dibanding para wanita karir
yang pergi pagi pulang sore untuk bekerja di kantoran.
Padahal menurut Islam, profesi ibu rumah tangga ibarat seorang ratu.
Ia menjadi pemimpin di rumah suaminya. Hal itu merupakan pekerjaan dan
karir terberat dibanding segala profesi yang ada. Balasannya pun tidak
main-main, yaitu surga, sesuatu yang lebih baik dari dunia dan segala
isinya.
Rasulullah SAW bersabda, “Dunia ini adalah perhiasan. Dan sebaik-baik
perhiasan ialah wanita salihah –wanita yang baik dalam agamanya, rumah
tangganya, serta pergaulannya.” (Riwayat Muslim)
Sesungguhnya, pemikiran bahwa menjadi ibu rumah tangga sebuah
pekerjaan rendahan, berasal dari pikiran feminis. Bagi kaum feminis,
menjadi ibu rumah tangga itu merendahkan martabat perempuan, karena
dianggap membebani dan melakukan perbudakan terhadap kaum Hawa.
Pola berpikir seperti itu karena standar kesuksesan menurut mereka
diukur dari unsur materi. Seseorang dikatakan sukses jika punya
penghasilan tinggi, gelar seabrek, mobil mewah, meski harus buka aurat.
Untungnya, tidak semua wanita terpengaruh oleh pemikiran tersebut.
Masih banyak kaum Muslimah yang mempunyai iman yang kuat sehingga tidak
terpengaruh.
Jangan Berhenti Belajar
Saya punya seorang teman yang cerdas, sebut saja namanya Shofi. Ia
lulusan jurusan Teknik Industri di perguruan tinggi negeri di Bandung.
Namun tidak disangka, selepas menamatkan pendidikan S1-nya, ia menikah.
Setelah anak perempuannya lahir, ia menjadi ibu rumah tangga penuh atau
bahasa kerennya, full time mommy.
Tapi bukan berarti setelah menjadi ibu rumah tangga ia menjadi kuper
dan tidak up-to-date sama sekali. Buktinya, ia terus mengikuti
perkembangan dunia pemikiran. Misalnya, ia mengajak saya ke acara
konferensi ilmuwan Muslim.
Atau juga kita bisa melihat wanita-wanita di Gaza, Palestina. Ketika
selepas sekolah menengah atau SMA, mereka menikah dan selama itu mereka
berkonsentrasi mengurus dan mendidik anak hingga sang anak dewasa.
Ketika sang anak telah dewasa dan ingin masuk perguruan tinggi, sang ibu
juga ikut kuliah dan mendaftar di perguruan tinggi yang sama. Bagi
wanita Gaza, fisik boleh saja menua namun semangat belajar dan mencari
ilmu harus tetap muda. Mereka sadar bahwa pendidikan tinggi dibutuhkan.
Salah satu tokoh pendidikan Melayu asal Kelantan, Malaysia, Prof. Wan
Mohd Nor Wan Daud, dalam bukunya Budaya Ilmu dan Gagasan Malaysia:
Membina Negara Maju dan Bahagia mengakui bahwa golongan lulusan
perguruan tinggi memainkan peran yang penting dalam kemajuan,
kesejahteraan dan kebahagiaan bangsa dan negara. Karena pemimpin semua
lapisan dan bidang kehidupan masyarakat dan negara datang dari golongan
ini.
Malah, lanjutnya, kesuksesan di peringkat menengah dan rendah
bergantung pada kesuksesan di peringkat institusi perguruan tinggi.
Sebab, semua pembuat dasar, perancang kurikulum, guru-guru dan pentadbir
penting di peringkat ini terdidik dan terlatih oleh mereka yang berasal
dari perguruan tinggi.
Jadi menurutnya, pendidikan usia dini memang penting, jika kualitas
pendidiknya tinggi dan memenuhi harapan tujuan pendidikan. Namun
sekarang realitanya, yang menjadi penentu bagus tidaknya kualitas
pendidikan ditentukan oleh perguruan tinggi yang diibaratkan seperti
pelentur buluh.
“Jangan berpikir menjadi ibu rumah tangga itu pendidikannya mesti
rendah, justru pendidikannya harus tinggi,” katanya, saat saya
berdiskusi awal November lalu di Bogor.
Tidak Usah Minder
Tidak hanya itu, jauh sebelum Indonesia merdeka, tokoh Nasional, Rohana
Kudus sudah memikirkan bagaimana seorang ibu selain harus pintar dalam
urusan rumah tangga, juga harus berpendidikan. Karenanya, sebagaimana
yang dituliskan Tamar Djaja dalam bukunya Rohana Kudus Srikandi
Indonesia: Riwayat Hidup dan Perjuangannya, Rohana sengaja mendirikan
Kerajinan Amai Setia, yang bertujuan agar ada sekolah lengkap dengan
berbagai macam daftar pelajaran yang meliputi kepentingan perempuan.
Rohana ingin mendirikan sekolah yang mengajarkan semua ilmu pengetahuan
mengenai perempuan, seperti memasak, menjahit, menyulam, di samping
pengetahuan sekolah biasa.
Tentu, Rohana sebagai perempuan amat menyadari betapa pentingnya
pendidikan yang layak untuk perempuan. Bukan maksud agar perempuan bisa
setara kemudian mengalahkan laki-laki. Tapi karena perempuan akan
menjadi sekolah atau pendidik pertama bagi anak-anaknya kelak. Dan hal
ini belum sepenuhnya disadari oleh semua perempuan, terlebih bagi mereka
yang memprioritaskan dirinya pada karier dan lebih memilih orang lain
untuk mengasuh anak daripada mengasuh sendiri.
Kalau sang ibu terdidik dan mampu mendidik anak-anaknya menjadi anak
yang kuat agamanya serta cerdas, ia akan berperan dalam pembangunan,
salah satunya ikut menyumbangkan generasi penerus bangsa yang cerdas.
Lihat saja Imam Syafi’i, di bawah asuhan ibunya dan pengajaran para
ulama. Ia yang saat itu masih berusia 9 tahun sudah hafal al-Qur’an dan
banyak Hadits.
Karenanya, kaum Muslimah tidak usah minder selepas tamat kuliah lalu menikah dan kemudian menjadi ibu rumah tangga.“Perempuan bisa sukses jadi bos di kantor, tapi belum tentu sukses
sebagai istri atau ibu. Sebab, menjadi ibu rumah tangga itu berat dan
office hour-nya 24 jam.”
Pelajaran dari Kisah Nabi Shalih dan Kaumnya
2 jam yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar